Kamis, 12 Mei 2011

Industri Keuangan Syariah, Tumbuh di Tengah Krisis Global Sistem Kapitalis

Lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis keuangan yang melanda dunia. Sementara bank-bank konvensional di seluruh dunia bangkrut atau merugi hingga lebih dari 400 milyar dollar akibat krisis di sektor kreditnya, industri perbankan syariah menunjukkan menunjukkan kebalikannya.
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap memberikan keuntungan, kenyamanan dan keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana yang mempercayakan uangnya didepositkan di bank-bank syariah.
Di tengah krisis keuangan global, industri keuangan syariah malah mengalami pertumbuhan sebesar 1 triliun dollar dan dipekirakan akan terus berkembang meliputi investor-investor non-Muslim.
Para investor yang trauma akibat krisis keuangan bisa lebih nyaman jika menanamkan investasinya di lembaga-lembaga keuangan syariah, yang menerapkan peraturan ketat berdasarkan hukum Islam dalam memberikan pinjaman. Sistem keuangan berbasis syariah mensyaratkan untuk mengambil keuntungan hanya dari investasi-investasi yang dilakukan secara etis dan bertanggunggung dari sisi sosial. Sistem ekonomi syariah, melarang mengambil keuntungan dari sistem riba, seperti sistem bunga yang diterapkan bank-bank konvensional dan melarang mengambil keuntungan dari investasi-investasi haram seperti perjudian, pornografi dan bisnis babi.
”Krisis ini merupakan titik balik bagi sistem pinjaman konservatif yang sudah usang. Kondisi pasar global sekarang ini memberikan kesempatan yang besar bagi lembaga keuangan Islami untuk menunjukkan apa yang bisa dilakukannya-untuk mengisi gap likuiditas yang terjadi,” kata David Testa, Eksekutif Gatehouse Bank yang memulai operasinya sebagai bank Islam kelima di Inggris, bulan April kemarin.
Asian Development Bank (ADB) mempekirakan, asset-asset lembaga keuangan islami secara global mencapai 1 triliun dollar dengan angka pertumbuhan per tahun sebesar 10 sampai 15 persen. Perkiraan ini bisa lebih tinggi, karena perkembangan pesat industri keuangan Islami telah menarik minat perusahaan-perusahaan dari luar Timur Tengah.
Para analis keuangan sudah banyak yang mengakui bahwa industri keuangan Islami menerapkan sistem yang berbeda yang membuat resikonya relatif kecil. Meski ada juga sejumlah analis yang meragukan keamanan sistem keuangan berbasis syariah. Mereka mengatakan, para komentator terlalu bersemangat dalam mempromosikan keunggulan-keunggulan sistem keuangan Islami sebagai produk yang aman.
”Sistem keuangan Islami tidak kebal terhadap resiko,” kata Mohamad Damak dari Standard & Poor’s. Ia mengkritik maraknya pembiayaan real estate di kawasan Teluk selama tiga tahun belakangan ini-terutama pembiayaan yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan syariah-di tengah membubungnya harga-harga properti.
”Koreksi di sektor real estate akan menimbulkan dampak bagi bank-bank Islami yang terlibat dalam bisnis ini. Sistem keuangan Islami tidak kebal terhadap krisis,” kritik Damak.
Sementara sejumlah analis masih memperdebatkan soal keamanan sistem keuangan Islami, banyak pula yang mengakui bahwa industri keuangan Islami kini mulai dilirik banyak orang yang sudah kehilangan kepercayaan dengan sistem keuangan kapitalis.
”Jika bank-bank Islami menunjukkan langkah maju, maka sistem keuangan Islami akan menjadi daya tarik,” kata Testa.

Sukuk Menjadi Pilihan

Krisis keuangan di Barat menyebabkan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia kehilangan kepercayaan dengan sistem pinjaman konvensional. Mereka kini mulai mengalihkan perhatian ke lembaga-lembaga keuangan Islami di kawasan Teluk untuk mengamankan dana-dana mereka. Dan yang menjadi daya tarik perusahaan-perusahaan Barat itu adalah sukuk, surat obligasi negara syariah.
”Banyak klien kami mulai melihat ke Timur Tengah dan ke institusi-institusi di Timur Tengah. Mereka menjajagi apakah lembaga-lembaga itu bisa membantu bisnis mereka dan apakah ada peluang-peluang yang lebih luas bagi institusi-institusi Barat untuk masuk ke Timur Tengah dan mengadopsi standar-standar keuangan Islami,” kata Neil Miller, ketua departemen keuangan Islami di Norton Rose.
Menurut Miller, perusahaan-perusahaan dari berbagai belahan dunia mau melakukan apa saja agar bisa mendapatkan akses ke negara-negara petrodollar, termasuk mekonfigurasi ulang transaksi-transaksi untuk menghindari agar asset dan struktur mereka tidak dianggap bertentangan dengan konsep syariah.
”Mereka yang mengatur hal itu sedang mellihat apakah mereka bisa merekstrukturisasi kesepakatan-kesepakatan mereka ke dalam kesepakatan-kesepakatan yang berbasis syariah. Mereka juga sedang melihat apakah bisa membuat sebuah peluang investasi atau apapun itu, yang paralel dengan konsep syariah,” papar Miller.
Perkembangan baru ini terjadi seiring dengan makin maraknya pasar sukuk. Situs Arabianbusiness menyebutkan, meski tahun 2008 mengalami perlambatan, sampai tahun ini, surat obligasi negara syariah mengalami perkembangan yang cukup pesar di pasar surat berharga di seluruh dunia. Nilai sukuk meningkat dua kali lipat setiap tahunnya sejak tahun 2004. Pada akhir tahun 2007, nilai sukuk bahkan mencapai 90 milyar dollar di seluruh dunia dan posisinya sebagai pilar penting dari sistem keuangan Islami tidak perlu dipertanyakan lagi.
Minat yang besar perusahaan-perusahaan Barat pada sukuk sebagai alternatif pembiayaan , apalagi setelah krisis keuangan yang terjadi saat ini, diakui oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan.
Dalam Konferensi Economic Outlook for Southeast Asian Countries di Dubai pekan kemarin, Pitsuwan mengatakan, “Saya piker perusahaan-perusahaan asing menyadari bahwa ada banyak alternatif dan mereka akan mengeksplorasi lebih dalam. Mereka akan melihat inisiatif baru, ke bank-bank Islami untuk mendapatkan modal dan sumber-sumber untuk melayani klien-klien mereka. Kecenderungan ini mulai meningkat.” (ln/IHT/Islamicity/Ab)

Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/analisa/industri-keuangan-syariah-tumbuh-di-tengah-krisis-global-sistem-kapitalis.htm 

Rabu, 11 Mei 2011

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL

Tidak sedikit masyarakat umum dan bahkan kalangan intelektual terdidik, yang belum memahami konsep bank syariah. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan IPB Bogor, UNDIP Semarang dan FE Universitas Brawijaya untuk kawasan Pulau jawa, menunjukkan bahwa ada 10,2% masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Mereka juga beranggapan bagi hasil dan margin keuntungan, sama saja dengan bunga.
Mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sistem bunga. Tegasnya, bagi hasil dan bunga sama saja. Pandangan ini juga masih terdapat di kalangan sebagian kecil ustazd yang belum memahami konsep dan operasional bagi hasil.

Perbedaan

Dalam tulisan ini akan diuraikan setidaknya lima perbedaan mendasar bank syariah dengan bank konvensional. Pertama, bank syariah berdasarkan bagi hasil dan margin keuntungan, sedangkan bank biasa memakai perangkat bunga. Kedua, pada bank syariah hubungan dengan bank syariah berbentuk kemitraan. Sedangkan pada bank biasa hubungan itu berbentuk debitur – kreditur. Ketiga, bank syariah melakukan investasi yang halal saja, sedangkan bank biasa, bisa halal, syubhat dan haram. Keempat, bank syariah berorientasi keuntungan duniawi dan ukhrawi, yakni sebagai pengamalan syariah. Sedangkan orientasi bank biasa semata duniawi. Kelima, bank syariah tidak melakukan spekulasi mata uang asing dalam operasionalnya untuk meraup keuntungan, sedangkan biasa, banyak yang masih melakaukan. Bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank biasa cenderung berpandangan demikian.





Produk Bank Syariah

Dalam bank syariah ada tiga produk pembiayaan yang dipraktekkan. Pertama, bagi hasil, kedua, jual beli dan ketiga, ijarah (leasing) dan jasa.
Bagi hasil, terdiri dari mudharabah dan musyarakah. Jual beli, terdiri dari produk ba’i murabahah, ba’i istitsna’ dan ba’i salam. Jasa, terdiri dari wakalah, kafalah hiwalah. Sedangkan ijarah terdiri dari ba’i at-takjiri dan al-ijarah munthiyah bit tamlik.
Jadi, dalam perbankan syariah, bagi hasil hanyalah salah satu produk pembiayaan perbankan syariah. Saat ini bank syariah di Indonesia, masih dominan menerapkan produk jual beli, khususnya, jual beli murabahah dan istisna’, kecuali bank Muamalat. Bank ini secara bertahap berusaha menerapkan konsep bagi hasil dalam pembiayaan.
Karena banyaknya prosuk bank syariah maka sistem bagi hasil, sebagi ciri khas utama bank syariah tidak diterapkan secara menyeluruh dalam operasi bank muamalah, karena memang, bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) hanyalah salah satu dari konsep fikih muamalah dan merupakan salah saru sistem bank syariah. Namun harus dicatat, meskipun bagi hasil belum diterapkan secara dominan, tetapi praktek bunga sudah bisa dihindarkan secara total, khususnya bank Muamalat dan bank Syariah Mandiri.

Tujuh Perbedaan

Selanjutnya, akan dijelaskan pula perbedaan bank bunga dan bagi hasil, agar masyarakat tidak lagi menyamakan bunga dan bagi hasil. Setidaknya, ada tujuh perbedaan penting antara bunga dan bagi hasil. Tujuh perbedaan ini sudah terlalu cukup bagi kita untuk memahami konsep bagi hasil dan bedanya dengan bunga.
Pertama, penentuan bunga ditetapkan sejak awal, tanpa pedoman pada untung rugi, sehingga besarnya bunga yang harus dibayar sudah diketahui sejak awal.
Misalnya, si A meminjam uang di sebuah bank konvensional sebesar Rp, 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan selama 12 bulan. Besar bunga yang harus dibayar si A, ditetapkan bank secara pasti, misalnya 24 % setahun. Dengan demikian si A harus membayar bunga Rp. 200.000 perbulan, selain pokok pinjaman (perhitungan bunga ini didasarkan pada sistem penyusutan).
Sedangkan pada sistem bagi hasil, penentuan jumlah besarnya tidak ditetapkan sejak awal, karena pengambilan bagi hasil didasarkan untung rugi dengan pola nisbah (rasio) bagi hasil. Maka jumlah bagi hasil baru diketahui setelah berusaha atau sesudah ada untungnya.
Misalnya si A menerima pembiayaan mudharabah sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan 12 bulan. Jumlah bagi hasil yang harus dibayarkan kepada bank belum diketahui sejak awal, kedua belah pihak hanya menyepakati porsi bagi hasil, misalnya 80% keuntungan untuk nasabah, dan 20% untuk bank syariah.
Pada bulan pertama si A mendapatkan keuntungan bersih misalnya, sebesar Rp. 1.000.000 maka bagi hasil yang disetornya kepada bank syariah ialah 20% x Rp. 1.000.000,- = Rp. 200.000,- ditambah pokok pinjaman.
Pada bulan ketiga, keuntungan mungkin saja menurun, misalnya Rp. 750.000,- maka bagi hasil yang dibayarkan pada bulan tersebut ialah 20% x Rp.750.000 – Rp. 150.000,-
Dengan demikian, jumlah bagi hasil yang selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan besar kecilnya keuntungan yang diraih mudharib (pengelola dana/pengusaha). Hal ini berbeda sekali dengan bunga.
Kedua, besarnya persentase bunga dan besarnya nilai rupiah, ditentukan berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan.
Ketiga, dalam sistem bunga, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung si peminjam (debitur)saja, berdasarkan pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, sedangkan pada sistem bagi hasil, jika terjadi kerugian, maka hal itu ditanggung bersama oleh pemilik modal dan peminjam. Pihak perbankan syariah menaggung kerugian materi, sedangkan si peminjam menanggung kerugian tenaga, waktu dan pikiran.
Keempat, pada sistem bunga, jumlah pembayaran bunga kepada nasabah penabung/deposan tidak meningkat, sekalipun keuntungan bank meningkat, karena persentase bunga ditetapkan secara pasti tanpa didasarkan pada untung dan rugi. Sedangkan dalam sistem bagi hasil jumlah pembagian laba yang diterima dengan deposan akan meningkat, manakala keuntungan bank meningkat, sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan bank.
Kelima, pada sistem bunga, besarnya bunga yang harus dibayar si peminjam pasti diterima bank, sedangkan dalam sistem bagi hasil besarnya tidak pasti, tergantung pada keuntungan perusahaan yang dikelola si peminjam, sebab keberhasilan usahalah yang menjadi perhatian bersama pemilik modal (bank) dan peminjam.
Keenam, pada sistem bunga dilarang oleh semua agama samawi, sedangkan sistem bagi hasil tak ada agama yang mengecamnya. Bunga dilarang dengan tegas oleh agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam, seperti terungkap di bawah ini.
“Jika kamu meminjam harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan untuk hartamu (Kitab Keluaran Perjanjian lama, Ayat 25 pasal 22).
Ketujuh, pihak bank dalam sistem bunga, memastikan penghasilan debitur di masa akan datang, dan karena itu ia menetapkan sejak awal jumlah bunga yang harus dibayarkan kepada bank. Sedangkan dalam sistem bagi hasil, tidak ada pemastian tersebut, karena yang bisa memastikan penghasilan di masa depan hanyalah Allah.

Investasi Syariah

Menggunakan produk keuangan, di jaman seperti ini rasanya sudah tidak mungkin dihindari. Perbankan, selain sebagai digunakan untuk mempermudah transaksi juga dapat digunakan sebagai sarana investasi.
Tidak puas dengan hanya investasi di perbankan, masyarakat juga mulai banyak melirik reksa dana sebagai alternatif yang memberikan hasil lebih baik. Pendeknya, produk keuangan sekarang bukan lagi suatu hal yang baru. Malah sudah menjadi suatu kebutuhan untuk hampir semua orang.
Lalu bagaimana dengan banyaknya produk keuangan yang ternyata “rawan” sekali mengandung unsur-unsur yang tidak halal? Perbankan misalnya, tentunya sangat kental sekali dengan unsur bunga yang bisa dikategorikan sebagai riba.
Begitu juga dengan reksa dana, walaupun secara sederhana reksa dana dapat dianalogikan seperti kegiatan bagi hasil diantara para investor dengan manajer investasinya, tapi alokasi investasinya rupanya juga tidak terhindar dari unsur riba. Lalu bagaimana masyarakat muslim akan memanfaatkan produk keuangan untuk kebaikan mereka kalau ternyata banyak sekali ditemukan unsur yang tidak halal dalam berbagai produk keuangan tersebut?
Perbankan Syariah
Lalu apa bedanya antara bank syariah dan bank konvensional yang selama ini sudah dikenal? Yang paling jelas, adalah tidak adanya bunga pada bank syariah. Nasabah yang menabung di bank syariah tidak akan diberikan keuntungan bunga melainkan berupa bagi hasil.
Bagi hasil tentu saja berbeda dengan bunga. Pada sistem bunga, nasabah akan mendapatkan hasil yang sudah pasti berupa prosentase tertentu dari saldo yang disimpannya di bank tersebut. Berapapun keuntungan usaha pihak bank, nasabah akan mendapatkan hasil yang sudah pasti.
Sedangkan pada sistem bagi hasil, tidak seperti itu. Bagi hasil dihitung dari hasil usaha pihak bank dalam mengelola uang nasabah. Bank dan nasabah membuat perjanjian bagi hasil berupa prosentase tertentu untuk nasabah dan untuk bank, perbandingan ini disebut nisbah. Misalnya, 60% keuntungan untuk nasabah dan 40% keuntungan untuk bank.
Dengan sistem ini, nasabah dan bank memang tidak bisa mengetahui berapa hasil yang pastinya akan mereka terima. Karena bagi hasil baru akan dibagikan kalau hasil usahanya sudah bisa ditentukan pada akhir periode. Tapi dengan sistem bagi hasil, nasabah dan bank akan membagi keuntungan secara lebih adil daripada sistem bunga. Karena kedua belah pihak selalu membagi adil sesuai nisbah berapapun hasilnya.
Al-Qur’an menjelaskan tentang riba, pada surat Al-baqarah:275 dan ayat inilah yang menjadi hukum mengenai status riba
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:275)
Sumber : Dikutip dari Majalah ALIA

Koperasi Merupakan Lembaga Keuangan Mikro Yang Telah Terbukti Memiliki Daya Tahan Kuat Dalam Menghadapi Krisis

Hidayatullah.com--Koperasi merupakan lembaga keuangan mikro yang telah terbukti memiliki daya tahan kuat dalam menghadapi krisis. Selain sebagai tulang punggung ekonomi yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil, koperasi juga terbukti mampu memberikan kontribusi riil terhadap persoalan pengangguran. Koperasi memang sudah lama eksis di negeri ini, tapi koperasi dengan konsep keuangan syariah terbilang masih kecil. Padahal konsep keuangan syariah telah diadopsi oleh dunia.

Menurut Menteri Koperasi dan UKM, Syarif Hasan, koperasi merupakan salah satu sektor perekonomian yang berhasil mencapai penuntasan kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu pihaknya akan berupaya untuk terus meningkatkan peran serta koperasi dalam upaya membantu pemerintah mensejahterakan rakyat.


“Ke depan koperasi kita harapkan mampu turut serta mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Posisi koperasi yang sangat strategis dan langsung menyentuh masyarakat kecil di pedesaan sangat memungkinkan untuk program tersebut,” ujarnya dalam sambutannya ketika membuka acara Pelatihan Lembaga Keuangan Syari’ah Mikro BMT Hidayatullah se-Indonesia di gedung PPPPTK Bahasa Jakarta Selatan.

Terkait dengan konsep keuangan syari’ah, Syarif Hasan menyatakan, konsep ini sangat tepat dan harus direspon positif oleh umat Islam.

 “Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pilihan konsep keuangan syariah tentu sangat tepat dan kami akan mendukung upaya-upaya pengimplementasian hal tersebut. Sebab dunia sekarang pun banyak yang tertarik dan mengadopsi konsep syari’ah,” terangnya.

Agar koperasi mampu eksis lebih baik, utamanya di tengah persaingan global yang mulai memanas di Indonesia, Syarif Hasan mengajak, segenap praktisi perkoperasian di Indonesia untuk mengupayakan sistem keuangan yang transparan.

Bahaya Riba Lebih Dahsyat dari Zina


"Sekarang ini 600 juta orang jatuh miskin terkena imbas krisis keuangan global. Padahal krisis baru terjadi beberapa minggu saja. Ini menunjukkan sangat dahsyatnya dampak riba," ujar Muhammad Hidayat, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, dalam Seminar Nasional Ekonomi Syariah Hadits-Hadits Riba dan Zina dalam rangka halal bihalal Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah(PKES), di Jakarta, Rabu (22/10/2008)
Menurutnya, krisis dunia yang terjadi saat ini merupakan akibat transaksi ribawi. Celakanya, dampaknya menimpa bukan hanya pada negara yang dibangun oleh sistem ribawi saja.

"Bukan hanya terjadi dipusatnya di Amerika Serikat, tapi merambat ke semua negeri bahkan yang tidak bersalah, yang tidak menjadikan sistem riba sebagai sistem di negerinya pun terkena. Bank syariah pun terkena efeknya," jelasnya.
Negara yang mempraktikkan sistem ekonomi ribawi, kata dia, tidak akan bisa membangun stabilitas ekonomi, karena selalu dalam keadaan yang tidak menentu.

Ia mengutip Alquran surat Albaqarah ayat 275 yang secara tegas mengatakan, mereka yang mempraktikkan riba tidak akan bisa tegak, kecuali mereka berdiri seperti orang gila yang kemasukkan setan.

"Bisa dibayangkan orang gila yang kemasukan setan, pasti kalau jalan tidak akan bisa lurus, tidak karu-karuan atau kacau. Seperti saat ini, inflasi tidak karu-karuan, nilai tukar naik turun, itulah sistem riba yang dikatakan Allah dalam Alquran," tegasnya.

Sementara itu, pakar ilmu hadits Prof. KH. Ali Musthafa Yaqub yang juga tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut menyitir salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, "Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya."
Ia menyesalkan masih adanya anggapan yang salah dari beberapa kalangan bahwa riba itu tidak ada bedanya dengan jual beli. "Padahal memakan riba adalah perbuatan haram yang luar biasa. Bahkan hal ini ditegaskan oleh Allah secara langsung tanpa melalui ijtihad ulama," ujarnya
Keharaman riba, kata dia, masuk dalam wilayah yang namanya syariah, bukan fiqih lagi. "Siapa yang menghalalkan riba berarti menodai larangan Allah. Allah mengumumkan memerangi orang-orang yang memakan riba," tegasnya

Selain bantuan pinjaman modal BMT AL – Kautsar juga banyak mengadakan kegiatan diantaranya, mengadakan bazzar, serta mengadakan pelatihan kewira usahaan kepada para Anggota binaan BMT Al – Kautsar & Dakta Card. Melalui program pelatihan ini juga peserta di berikan motivasi – motivasi oleh trainer – trainer yang berkompeten mengisi dalam acara pelatihan tersebut sehingga kemampuan peserta dalam mengolah usahanya menjadi bertambah.
Dalam kegiatan pelatihan ini juga dimanfaatkan oleh anggota binaan BMT Al – Kautsar – Dakta Card untuk Bersilaturrahim, sharing tentang bisnis dan peluang uasaha yang dapat dijalankan bersama

OPICK TOMBO ATI Bersama BMT AL-Kautsar Bantu Pembiayaan Pengusaha Kecil


Sering terdengar pertanyaan “Apa bahaya riba bagi kita?”. Disebuah taklim Ibu ibu saat BMT mengisi kajian tentang bahaya riba dan praktek rentenir, seorang ibu menuturkan “Masalahnya belum kami temukan lembaga Islam yang mau membackup seperti rentenir (bank keliling) mereka hanya sebatas menghimbau saja tanpa ada tindakan nyata untuk membantu kami” atau di kesempatan lain ada yang meyampaikan “Kami sebenarnya tahu ini riba, tapi ini pinjamannya gampang dicairkan, hari ini minta hari ini juga langsung dikasih pinjaman”. Begitulah kondisi nyata terjadi disekeliling kita. Kesulitan ekonomi dan buasnya praktek rentenir menjadikan pengusaha kecil kian terhimpit.
“Sehari saya harus membayar tiga bank harian, jam 9, jam10 pagi dan jam11 siang. Keadaan ini sangat memberatkan saya yang hanya mengandalkan jualan jajanan anak-anak” ujar seorang binaan BMT “sementara mau pinjam ke lembaga Islam tidak ada respon” tambahnya.
Setiap hari, korban rentenir terus bertambah. Ironisnya, masyarakat seakan tutup mata dan menganggap hal ini menjadi fenomena yang biasa saja.
Opick Tombo Ati “penyanyi lagu Religi” mengaku turut prihatin dengan keadaan ekonomi masyarakat saat ini karena mendominasinya praktek riba dan rentenir. Hal ini sangat menyulitkan pengusaha kecil untuk berkembang.
Sebagai wujud kepeduliannya, Artis dengan nama lengkap Aunurrofiq Lil Firdaus, turut menghadari Pelatihan kewirausahaan BMT Al-Kautsar pada senin, 11 mei 2009. di Aula Radio Dakta, Opick mengajak umat Islam agar ikut andil dalam mengurangi dampak prkatek riba dan rentenir dengan langkah nyata.
Fatwa riba sudah jelas
Islam sudah melarang transaksi riba dan bunga dalam kegiatan ekononmi. Fatwa haramnya bunga itu sudah sejak 1965 dikeluarkan lembaga riset Islam dari Al-Azhar, mesir. Diteruskan oleh Lembaga Riset Islam (OKI), Jeddah Saudi Arabia pada 16 Rabiul Awal 1406 H atau 22-28 desember 1985.
Dikuatkan kembali oleh lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pada 1989, supreme court Pakistan pada 22 desember 1999, Majelis Ulama Indonesia pada januari 2003 dan Majelis Tarjih Muhammadiyah Pada Agustus 2006.
Didalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman: “orang orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” “Dan jika tidak kamu lakukan (berhenti dari riba) maka umumkan peperangan dari Allah dan rasulnya …” (Al-Baqarah Ayat 279)
Diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah SAW : “Riba itu tujuh puluh dua pintu (bagian), yang paling rendah adalah seperti seseorang menyetubuhi ibunya (Riwayat Ath-Tabrani Dalam Shahih Al-Jami’ No.3537). satu dirham riba yang dimakan seseorang dalam kondisi lebih mengetahuinya adalah lebih dahsyat dibandingkan zina” (Silsilah Ash-Shahihah No.1033)
Menurut Drs. Moh. Hidayat,MBA (Dewan Syariah Nasional MUI) pada awalnya agama yahudi dan nasrani juga melarang mengambil bunga dan riba dalam transaksi keuangan, atau dalam proses ekonomi. Seperti yang tercantum dalam kitab imamat 26: 35-37, kitab ulangan 23: 19-20 dan kitab keluaran 22: 25
Tapi pada akhirnya penganut yahudi dan nasrani mengingkari kitab suci mereka, hingga pada abad ke-12 muncul kelompok yang membolehkan bunga dengan catatan interest yang wajar dan tidak memberatkan, dan akhirnya pada abad ke-16 pihak gereja membolehkan pengambilan bunga, dengan catatan sesuai undang-undang kerajaan pada saat itu. (sumber: tabloid -syiar Islam- edisi mei 2009 hal.3)

OPICK TOMBO ATI Bersama BMT AL-Kautsar Bantu Pembiayaan Pengusaha Kecil

Sering terdengar pertanyaan “Apa bahaya riba bagi kita?”. Disebuah taklim ibu2 saat BMT mengisi kajian tentang bahaya riba dan praktek rentenir, seorang ibu menuturkan “Masalahnya belum kami temukan lembaga Islam yang mau membackup seperti rentenir (bank keliling) mereka hanya sebatas menghimbau saja tanpa ada tindakan nyata untuk membantu kami” atau di kesempatan lain ada yang meyampaikan “Kami sebenarnya tahu ini riba, tapi ini pinjamannya gampang dicairkan, hari ini minta hari ini juga langsung dikasih pinjaman”. Begitulah kondisi nyata terjadi disekeliling kita. Kesulitan ekonomi dan buasnya praktek rentenir menjadikan pengusaha kecil kian terhimpit.
“Sehari saya harus membayar tiga bank harian, jam 9, jam10 pagi dan jam11 siang. Keadaan ini sangat memberatkan saya yang hanya mengandalkan jualan jajanan anak-anak” ujar seorang binaan BMT “sementara mau pinjam ke lembaga Islam tidak ada respon” tambahnya.
Setiap hari, korban rentenir terus bertambah. Ironisnya, masyarakat seakan tutup mata dan menganggap hal ini menjadi fenomena yang biasa saja.
Opick Tombo Ati “penyanyi lagu Religi” mengaku turut prihatin dengan keadaan ekonomi masyarakat saat ini karena mendominasinya praktek riba dan rentenir. Hal ini sangat menyulitkan pengusaha kecil untuk berkembang.
Sebagai wujud kepeduliannya, Artis dengan nama lengkap Aunurrofiq Lil Firdaus, turut menghadari Pelatihan kewirausahaan BMT Al-Kautsar pada senin, 11 mei 2009. di Aula Radio Dakta, Opick mengajak umat Islam agar ikut andil dalam mengurangi dampak prkatek riba dan rentenir dengan langkah nyata.
Fatwa riba sudah jelas
Islam sudah melarang transaksi riba dan bunga dalam kegiatan ekononmi. Fatwa haramnya bunga itu sudah sejak 1965 dikeluarkan lembaga riset Islam dari Al-Azhar, mesir. Diteruskan oleh Lembaga Riset Islam (OKI), Jeddah Saudi Arabia pada 16 Rabiul Awal 1406 H atau 22-28 desember 1985.
Dikuatkan kembali oleh lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pada 1989, supreme court Pakistan pada 22 desember 1999, Majelis Ulama Indonesia pada januari 2003 dan Majelis Tarjih Muhammadiyah Pada Agustus 2006.
Didalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman: “orang orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” “Dan jika tidak kamu lakukan (berhenti dari riba) maka umumkan peperangan dari Allah dan rasulnya …” (Al-Baqarah Ayat 279)
Diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah SAW : “Riba itu tujuh puluh dua pintu (bagian), yang paling rendah adalah seperti seseorang menyetubuhi ibunya (Riwayat Ath-Tabrani Dalam Shahih Al-Jami’ No.3537). satu dirham riba yang dimakan seseorang dalam kondisi lebih mengetahuinya adalah lebih dahsyat dibandingkan zina” (Silsilah Ash-Shahihah No.1033)
Menurut Drs. Moh. Hidayat,MBA (Dewan Syariah Nasional MUI) pada awalnya agama yahudi dan nasrani juga melarang mengambil bunga dan riba dalam transaksi keuangan, atau dalam proses ekonomi. Seperti yang tercantum dalam kitab imamat 26: 35-37, kitab ulangan 23: 19-20 dan kitab keluaran 22: 25
Tapi pada akhirnya penganut yahudi dan nasrani mengingkari kitab suci mereka, hingga pada abad ke-12 muncul kelompok yang membolehkan bunga dengan catatan interest yang wajar dan tidak memberatkan, dan akhirnya pada abad ke-16 pihak gereja membolehkan pengambilan bunga, dengan catatan sesuai undang-undang kerajaan pada saat itu. (sumber: tabloid -syiar Islam- edisi mei 2009 hal.3)